Selasa, 02 Desember 2014

Mengenal Pendidikan Sufistik





Mengenal Pendidikan Sufistik


Judul Buku     :  Pendidikan Sufistik: Mengungkap Tarekat Guru –Murid
Penulis            : M. Rikza Chamami, MSI
Penerbit           : Pustaka Zaman
Cetakan           : Pertama, Desember 2013
Tebal               : xxii + 202 Halaman
Resentator       : M. Sholahudin Latif



Pengajaran agama dilingkungan pendidikan belum memenuhi target yang diharapkan . Ada beberapa asumsi bahwa masalah utama pengajaran agama masih menyisakan tiga hal: pertama, pengajaran materi secara umum termasuk pengajaran agama belum mampu melahirkan creativity. Kedua, morality atau akhlak disekolah umum masih menjadi masalah utama. Dan ketiga, punishment atau adzab dalam berbagai bentuk lebih tampak dari reward atau ajr.
Akar masalah pertama terletak pada satu kenyataan bahwa beban pengajaran dalam kurikulum kita terlalu overload. Kurikulum yang trelalu berlebihan hanya akan membuat anak kelelahan yang berlebihan yang tentu anak akan kekeringan krativitas. Sehigga jangan kaget jika wajah piluh ada di negara kita. Sangat memiluhkan bahwa masyarakat indonesia yang relegius dewasa ini sedang terpuruk dalam himpitan krisis dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan.
Pendidikan dan agama tak ubahnya seperti dua pisau gunting yang satu sama lainnya  berpengaruh dan mempunyai hubungan yang erat.juga keduanya tidak dapat di pisahkan walau bisa di bedakan. Alangkah ironisnya dikala manusia telah maju dalam pedidikannya , namun kemajuannya tersebut tidak mampu berbicara dengan realitas bahkan sering menerjanng nilai-nilai moral yang berlaku. Tidak sedikit ahli hukum namun keahlinnya menjadikn jalan untuk melanggar hukum . tidak sedikit ahli ekonomi, namun semakin banyak ahli ekonomi bukannya hidup bertambah makmur, tatapi sebaliknya kekayaan negara melimpah dijarah oleh orang-orang yang ahli ekonomi. Pendek kata tinggi pendidikan seseorang apabila ia tidak beragama, maka pendidikan itu hanyaakan menimbulkan malapetaka, begitu pula sebaliknya.  Tasawuf mengedepankan moralitas dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan Islam kepada anak didik.
Uapaya lainnya yang masih diharapkan terwujud adalah reformasi pendidikan. Dalam pendidikan islam, reformasi (islah) bukanlah tujuan atau jenjang terakhir. Setelah reformasi harus di ikuti dengan improvement (ihsan) dan perfectness (istikmal). Insan kamil istilah yang telah lama diakrabi di dunia Sunni dan Syi’I dalam pemikiran pendidikan islam sejak periode klasik adalah target utama pendidikan islam. Selama improvement atau perbaikan dalam bentuk perubahan nyata belum terwujud, maka realisasi konsep reformasi sesungguhnya masih sangat dragukan.
M . Rikza Chamami penulis buku ini menerangkan tiga jami’iyah al- Tariqah al- Mu’tabarah al- Nahdiliyah  yang berada di Kudus, yaitu  Tarekat  Qadriyah Naqsyabandiyah, tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, dan tarekat Syadzaliyah. Menurut sufi tujuan tarekat yaitu untuk mendekatkan dan mendapatkan Ridho dari Allah SWT. Ketarbiyahan yang ada dalam tarekat, minimal mempunyai emapt model pendidikan sufistik yang ada di Kudus,yaitu Bai’at, Rabithah, Mujahadah dan Khalwah,  dan Pengajian. Dalam buku ini mengemukakan bahwasanya mengamalkan tarekat itu garus melalui guru (Mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Oleh sebab itu ada akal sufi yang sangat terkenal:  “barangsiapa yang menempuh jalan Allah tanpas disertai denga guru, maka gurunya adalah syetan”.  Semua murid harus sam’an watha’atan   dengan guru ( Mursyid).
Dalam ajaran tarekat pendidikan dijalankan atas dasar pembinaan mental dan moral pengikutnya. Pentingnya moral di mata masyarakat merupakan salah satu usaha pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang bermoral. Semua pendidikan pada intinya mengarah kepada pendidikan akhlak. Perbuatan akhlak itu juga akan melahirkan Sabar, Syukur, dan Ridha al Qalb. Dapat di katakan bahwa pendidikan sufistik adalah pendidikan akhlak. Tarekat di Kudus mengupayakan pengembangan pendidikan moral lewat ajaran Mursyid pendahulunya.model pendidikan moral diserukan ada dua cara, yaitu dengan ucapan (bil maqal) dan dengan tingkah laku (bil al hal). Guru juga akan memmbekali tentang zuhud dan qanaah.  Substansi pendidikan moral yang ada dalam tarekat mengarah kepada pennguatan hubungan ahli tarekat kepada Allah. Tentunya ini berjalan dengan tahapan-tahapan sesuai denngan ajaran Isalam yang mengacu pada penyempurnaaan iman, islam, dan ihsan. Karena inti dari tarekat adalah menyempurnakan hidup dengan iman, islam, dan ihsan.
Interaksi guru-murid menjadi barang mati yang tidak bisa di tawar. Dalam konteks tarekat Imam Al Ghazali mmenyatakan bahwa murid harus mempunyai Syeikh yang memimpinnya. Sebab jalan iman adalah samar, sedang jalan-jalan iblis banyak dan terang. Dan siapa yang tidak mempunyai Syeikh sebagai penunjuk jalan, ia pasti akan di tuntun oleh iblis dalam perjalanannya. Interaksi guru-murid tarekat yang terjadi di Kudus atau dapat di sebut sistem masyikhah dapat di gambarkan bahwa murid tarekat hendak menjadikan figur guru sebagai figur idola dan panutan dalam segala hal. Prinsip guru tarekat adalah mengajak semua muridnya masuk surga bersama gurunya. Model intearaksi guru murid tarekat ini dapat digambarkan dengan interaksi yang bersifat kekeluargaan dan beresinambungan artinya tali hunungan guru murid tidak akan pernah putus hngga akhir hayat. Dalam pendidikan sufistik tarekat mempunyai implikasi sosial yang besar yaitu dalam bidang kebudayaan, kemasyarakatan, dan pembaharuan.
Kekurangan dalam buku ini adalah banyak terdapat istilah-istilah berbahasa arab, latin dan inggris yang masih memerlukan penjelasan karena tidak semua pembaca mengetahui arti dari istilah-istilah tersebut. Namun buku ini tetap menarik untuk dibaca terutama oleh para akademisi karena dapat menambah wawasan dan referensi terkait dengan pendidikan sufistik, yang selama ini dianggap masih sangat klasik (tradisional). 

0 komentar:

Posting Komentar