Mengenal Pendidikan Sufistik
Mengenal Pendidikan
Sufistik
Penulis
: M. Rikza Chamami, MSI
Penerbit
: Pustaka Zaman
Cetakan
: Pertama, Desember
2013
Tebal
: xxii + 202 Halaman
Resentator : M. Sholahudin Latif
Pengajaran
agama dilingkungan pendidikan belum memenuhi target yang diharapkan . Ada
beberapa asumsi bahwa masalah utama pengajaran agama masih menyisakan tiga hal:
pertama, pengajaran materi secara umum termasuk pengajaran agama belum mampu
melahirkan creativity. Kedua, morality atau akhlak disekolah umum masih menjadi
masalah utama. Dan ketiga, punishment atau adzab dalam berbagai bentuk lebih
tampak dari reward atau ajr.
Akar
masalah pertama terletak pada satu kenyataan bahwa beban pengajaran dalam kurikulum
kita terlalu overload. Kurikulum yang trelalu berlebihan hanya akan membuat
anak kelelahan yang berlebihan yang tentu anak akan kekeringan krativitas.
Sehigga jangan kaget jika wajah piluh ada di negara kita. Sangat memiluhkan
bahwa masyarakat indonesia yang relegius dewasa ini sedang terpuruk dalam
himpitan krisis dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan.
Pendidikan
dan agama tak ubahnya seperti dua pisau gunting yang satu sama lainnya berpengaruh dan mempunyai hubungan yang
erat.juga keduanya tidak dapat di pisahkan walau bisa di bedakan. Alangkah
ironisnya dikala manusia telah maju dalam pedidikannya , namun kemajuannya
tersebut tidak mampu berbicara dengan realitas bahkan sering menerjanng nilai-nilai
moral yang berlaku. Tidak sedikit ahli hukum namun keahlinnya menjadikn jalan
untuk melanggar hukum . tidak sedikit ahli ekonomi, namun semakin banyak ahli
ekonomi bukannya hidup bertambah makmur, tatapi sebaliknya kekayaan negara
melimpah dijarah oleh orang-orang yang ahli ekonomi. Pendek kata tinggi
pendidikan seseorang apabila ia tidak beragama, maka pendidikan itu hanyaakan
menimbulkan malapetaka, begitu pula sebaliknya.
Tasawuf mengedepankan moralitas dapat dijadikan sebagai salah satu
pendekatan dalam pendidikan Islam kepada anak didik.
Uapaya
lainnya yang masih diharapkan terwujud adalah reformasi pendidikan. Dalam
pendidikan islam, reformasi (islah) bukanlah tujuan atau jenjang terakhir.
Setelah reformasi harus di ikuti dengan improvement (ihsan) dan perfectness
(istikmal). Insan kamil istilah yang telah lama diakrabi di dunia Sunni dan
Syi’I dalam pemikiran pendidikan islam sejak periode klasik adalah target utama
pendidikan islam. Selama improvement atau perbaikan dalam bentuk perubahan nyata
belum terwujud, maka realisasi konsep reformasi sesungguhnya masih sangat
dragukan.
M
. Rikza Chamami penulis buku ini menerangkan tiga jami’iyah al- Tariqah al-
Mu’tabarah al- Nahdiliyah yang berada di
Kudus, yaitu Tarekat Qadriyah Naqsyabandiyah, tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah, dan tarekat Syadzaliyah. Menurut sufi tujuan tarekat
yaitu untuk mendekatkan dan mendapatkan Ridho dari Allah SWT. Ketarbiyahan yang
ada dalam tarekat, minimal mempunyai emapt model pendidikan sufistik yang ada
di Kudus,yaitu Bai’at, Rabithah, Mujahadah dan Khalwah, dan Pengajian. Dalam buku ini mengemukakan
bahwasanya mengamalkan tarekat itu garus melalui guru (Mursyid) dengan bai’at
dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari
guru tarekat sebelumnya. Oleh sebab itu ada akal sufi yang sangat
terkenal: “barangsiapa yang menempuh
jalan Allah tanpas disertai denga guru, maka gurunya adalah syetan”. Semua murid harus sam’an watha’atan dengan guru ( Mursyid).
Dalam
ajaran tarekat pendidikan dijalankan atas dasar pembinaan mental dan moral
pengikutnya. Pentingnya moral di mata masyarakat merupakan salah satu usaha
pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang
bermoral. Semua pendidikan pada intinya mengarah kepada pendidikan akhlak.
Perbuatan akhlak itu juga akan melahirkan Sabar, Syukur, dan Ridha al Qalb.
Dapat di katakan bahwa pendidikan sufistik adalah pendidikan akhlak. Tarekat di
Kudus mengupayakan pengembangan pendidikan moral lewat ajaran Mursyid pendahulunya.model
pendidikan moral diserukan ada dua cara, yaitu dengan ucapan (bil maqal) dan
dengan tingkah laku (bil al hal). Guru juga akan memmbekali tentang zuhud dan
qanaah. Substansi pendidikan moral yang
ada dalam tarekat mengarah kepada pennguatan hubungan ahli tarekat kepada
Allah. Tentunya ini berjalan dengan tahapan-tahapan sesuai denngan ajaran
Isalam yang mengacu pada penyempurnaaan iman, islam, dan ihsan. Karena inti
dari tarekat adalah menyempurnakan hidup dengan iman, islam, dan ihsan.
Interaksi
guru-murid menjadi barang mati yang tidak bisa di tawar. Dalam konteks tarekat
Imam Al Ghazali mmenyatakan bahwa murid harus mempunyai Syeikh yang
memimpinnya. Sebab jalan iman adalah samar, sedang jalan-jalan iblis banyak dan
terang. Dan siapa yang tidak mempunyai Syeikh sebagai penunjuk jalan, ia pasti
akan di tuntun oleh iblis dalam perjalanannya. Interaksi guru-murid tarekat
yang terjadi di Kudus atau dapat di sebut sistem masyikhah dapat di gambarkan
bahwa murid tarekat hendak menjadikan figur guru sebagai figur idola dan
panutan dalam segala hal. Prinsip guru tarekat adalah mengajak semua muridnya
masuk surga bersama gurunya. Model intearaksi guru murid tarekat ini dapat
digambarkan dengan interaksi yang bersifat kekeluargaan dan beresinambungan
artinya tali hunungan guru murid tidak akan pernah putus hngga akhir hayat.
Dalam pendidikan sufistik tarekat mempunyai implikasi sosial yang besar yaitu
dalam bidang kebudayaan, kemasyarakatan, dan pembaharuan.
Kekurangan dalam buku ini adalah
banyak terdapat istilah-istilah berbahasa arab, latin dan inggris yang masih
memerlukan penjelasan karena tidak semua pembaca mengetahui arti dari
istilah-istilah tersebut. Namun buku ini tetap menarik untuk dibaca terutama
oleh para akademisi karena dapat menambah wawasan dan referensi terkait dengan
pendidikan sufistik, yang selama ini dianggap masih sangat klasik
(tradisional).
0 komentar:
Posting Komentar